Masih Ada Risiko Fiskal, Pelonggaran Kebijakan Moneter Hadapi Jalan Terjal

INFORMASI.COM, Jakarta - Meski The Fed sudah melakukan pemangkasan Fed Fund Rate (FFR) sebesar 50 Bps, upaya pelonggaran kebijakan moneter belum akan berjalan mulus. Pasalnya, masih ada risiko fiskal yang dihadapi sehingga berpotensi menghambat kelanjutan pemangkasan suku bunga acuan.
Risiko fiskal tersebut muncul dari dua hal. Pertama, proyeksi kebutuhan pembiayaan defisit fiskal Amerika Serikat tahun depan meningkat.
Terbaru, berdasarkan rilis laporan dari Congressional Budget Office (CBO) per Juni, defisit fiskal Amerika Serikat tahun depan diperkirakan menyentuh angka 6,5% dari PDB. Proyeksi ini meningkat dari Februari lalu yang hanya sebesar 6,1% saja.
Menanggapi hal tersebut, ASEAN Economist UOB, Endrico Tanuwidjaja mengungkap hal tersebut dapat meningkatkan risiko fiskal sehingga berpotensi menghentikan tren pemangkasan suku bunga acuan The Fed.
“Bisa jadi dia stop, risiko fiskal naik, inflasi naik, The Fed harus naikin lagi (FFR), dampak ke Indonesia adalah capital outflow karena yield US Treasury naik,” ujar Enrico dalam UOB Economic Outlook 2025, Rabu (25/9/2024).
Dampak Pengetatan Kebijakan Moneter dalam Sudut Pandang INDEFFaktor lain adalah pemilu Amerika Serikat. Beberapa waktu lalu, Ekonom BCA David Sumual mengatakan baik Donald Trump atau Kamala Harris, gagasan ekonomi keduanya berpotensi meningkatkan belanja pemerintah.
Donald trump melalui relaksasi pajak korporasi, sedangkan Kamala Harris melalui peningkatan belanja dari program populisnya.
“Sama aja sebenarnya, belanja pemerintah Amerika akan membengkak,” kata David kepada Fakta.com belum lama ini.
Besarnya kebutuhan pembiayaan fiskal ini dapat berujung kepada peningkatan inflasi di Amerika Serikat. Menurutnya, besarnya kebutuhan pembiayaan fiskal Amerika Serikat akan berimplikasi kepada pembelian surat berharga oleh bank sentral kembali.
Padahal, David mengatakan saat ini kepemilikan bank sentral terhadap surat berharga Amerika sudah cenderung tinggi, yakni di kisaran 25%. Menurut David, ini berpotensi membuat kepercayaan asing terhadap surat berharga Amerika Serikat perlahan berkurang. Karena itu, bank sentral yang harus kembali mengambil peran.
“Kalau bank sentral membeli surat berharga negara secara outright ya, itu kan artinya cetak uang yang mungkin bisa dampaknya inflasioner—bisa mendorong inflasi di Amerika dalam jangka menengah naik lagi gitu,” pungkas David.
Operasi Moneter BI Belum Berdampak ke Penguatan RupiahSebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu juga mengungkap, meski The Fed sudah menurunkan suku bunga acuan, tetapi masih ada risiko yang perlu diwaspadai.
Febrio menuturkan, kendati penurunan tingkat suku bunga akan memberikan stimulus bagi perekonomian, gejolak di pasar global juga akan muncul. Hal inilah yang perlu diantisipasi.
“Dengan demikian koordinasi kebijakan fiskal dengan moneter akan terus sangat dibutuhkan untuk menjaga dan mengelola ketidakpastian,” kata Febrio.
Komentar (0)
Login to comment on this news