Menyoal PPN, Tepatkah Tetap Naik jadi 12 Persen?

INFORMASI.COM, Jakarta - Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, semakin banyak mendapat pertentangan. Rencana ini bahkan dinilai bisa memperburuk kondisi kelas menengah yang sedang menurun.
Salah satunya disampaikan ekonom senior, Aviliani. Menurut Aviliani, bila daya beli melemah, dunia usaha akan turut terdampak.
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah fokus pada peningkatan pendapatan masyarakat sebelum menaikkan pajak.
“Ini yang diperhatikan oleh dunia usaha. Kalau mau menaikkan pajak, bereskan dulu soal pendapatan masyarakat di kelas menengah, karena mereka merupakan permintaan bagi pengusaha,” ujar Aviliani dikutip Antara, Rabu (9/10/2024).
Punya Pandangan Pribadi, Anak Buah Prabowo Tidak Sepakat PPN jadi 12 PersenSebelumnya, pernyataan keberatan PPN naik jadi 12% juga disampaikan Wakil Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo, Drajad Hari Wibowo. Drajad berpendapat, untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, maka dibutuhkan reformasi perpajakan.
Drajad yang juga dikenal sebagai Ekonom INDEF mengatakan, meski pemerintah harus mengejar peningkatan ruang fiskal melalui reformasi pajak, ia mengaku tidak sepakat dengan aturan PPN 12%.
Pasalnya, aturan tersebut dapat memukul konsumsi yang notabene adalah faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Sebagai pribadi, saya enggak setuju dengan PPN 12%, the risk is just to high,” ujarnya.
Iuran Lingkungan Apartemen dan Rusun Kena PPN, Ini Penjelasan Pejabat PajakMenurut Drajad, aturan PPN 12% dapat kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ia menuturkan, dengan tingkat PPN saat ini yang berada di level 11% saja, kelas menengah sudah banyak berjatuhan. Padahal, sumbangsihnya terhadap perekonomian cukup besar.
Dalam kesempatan itu, Drajad menyampaikan secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejalan dengan pertumbuhan konsumsi. Artinya, konsumsi masih menjadi faktor penting dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
“Kalau (konsumsi) melambat karena kelas menengah drop bagaimana kita bisa mengejar target pertumbuhan,” katanya menambahkan.
Meski begitu, Drajad berulang kali menegaskan bahwa itu pendapatnya pribadi, bukan sebagai Wakil Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo. Menurutnya, ia tidak memiliki kewenangan untuk menyampaikan pandangan pribadi Prabowo, termasuk soal PPN 12%.
Asal tahu saja, mengutip artikel Pusat Pengembangan Akuntansi dan euangan (PPA&K), pemberlakuan PPN di Indonesia ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau lebih dikenal dengan UU PPN.
Namun dalam perjalanannya, UU PPN sebenarnya telah mengalami empat kali perubahan. Perubahan pertama melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 yang mulai berlaku pada 1 Januari 1995.
Perubahan kedua dilakukan melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang berlaku pada pada 1 Januari 2001. Selanjutnya, perubahan ketiga yaitu pada tahun 2009 melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang mulai berlaku pada 1 April 2010.
Sementara, perubahan terakhir UU PPN dilakukan pada tahun 2021 yang termasuk dalam materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) yang mulai berlaku pada 29 Oktober 2021 khususnya berkaitan dengan kebijakan tarif.
Adapun tarif PPN sendiri telah ditetapkan pemerintah Indonesia menjadi 11% sejak 1 April 2022 lalu dan akan dinaikkan secara bertahap sampai dengan 12% di tahun 2025. Hal ini disebut dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau lebih dikenal dengan UU HPP Bab IV pasal 7 ayat (1) tentang PPN.
Sedangkan dalam pasal 7 ayat (3) dijelaskan bahwa tarif PPN dapat diubah paling tinggi 15% dan paling rendah 5% dan perubahan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tarif PPN ini mengalami kenaikan sebesar 1% dimana sebelum perubahan ditetapkan sebesar 10%.
Komentar (0)
Login to comment on this news