Negara Miskin Bayar Jutaan Dolar demi Akses ke Donald Trump

INFORMASI.COM, Jakarta - Laporan investigasi organisasi advokasi Global Witness mengungkap bahwa sejumlah negara termiskin di dunia, seperti Somalia, Haiti, dan Republik Afrika Tengah, membayar jutaan dolar AS kepada pelobi dan firma konsultan yang terkait dengan lingkaran dalam Donald Trump.
Apa yang Terjadi?
- • Pada Kamis, 10 Juli 2025, The Guardian mempublikasikan temuan Global Witness yang menyebutkan negara-negara miskin mengerahkan sumber daya untuk melobi Washington.
- • Imbal balik yang dijanjikan, antara lain bantuan militer AS, perlindungan politik, dan dukungan diplomatik.
- • Sebagai gantinya, negara-negara ini memberikan konsesi sumber daya alam seperti tambang emas dan logam tanah jarang.
Temuan Utama dari Global Witness
- • Somalia membayar firma lobi dengan koneksi Trump lebih dari US$1,6 juta, meskipun negara itu sedang menghadapi darurat kelaparan dan konflik bersenjata.
- • Haiti, negara termiskin di belahan barat, mengontrak pelobi politik untuk mencari dukungan terhadap rezimnya setelah kerusuhan politik.
- • Di Republik Afrika Tengah, kontrak bernilai jutaan dolar dikaitkan dengan konsesi tambang, sebagai bagian dari kesepakatan “akses ke kekuasaan Washington”.
- • Banyak dari lobi ini dijalankan oleh firma yang dikepalai oleh eks pejabat pemerintahan Trump, termasuk penasihat kampanye dan duta besar.
“ Kita menyaksikan pemotongan bantuan yang drastis, ditambah dengan permintaan mineral penting yang besar, dan kesediaan pemerintahan Trump untuk mengamankan kesepakatan dengan imbalan bantuan atau dukungan militer. ”
— Global Witness Head of Policy for Transition Minerals, Emily Stewart
Mengapa Ini Penting?
- • Beban tambahan bagi negara miskin, karena dana publik digunakan untuk membayar pelobi asing alih-alih menyelesaikan masalah domestik.
- • Pelobi dengan kedekatan pada Trump berperan sebagai “pintu belakang” untuk memengaruhi kebijakan luar negeri AS.
- • Konsesi tambang dan hak ekonomi menjadi alat tukar atas akses ke Washington.
Bukan Kasus Baru: Pernah Diangkat Washington Post
Pada 2024, The Washington Post telah lebih dulu menyelidiki lonjakan industri lobi terkait sanksi dan sumber daya global. Dalam laporan berjudul “A new Washington influence industry is making millions from sanctions”, ditemukan bahwa:
- • Sejak 2014, belanja lobi sanksi meningkat lima kali lipat, dari US$6 juta menjadi US$31 juta.
- • Mantan pejabat tinggi AS, termasuk Louis Freeh (eks Direktur FBI), Alan Dershowitz, dan Norm Coleman, aktif mewakili pengusaha, oligarki, dan rezim yang terkena sanksi.
- • Dalam beberapa kasus, kontrak lobi bernilai jutaan dolar berhasil mencabut atau mengurangi sanksi, meski terkait pelanggaran HAM atau korupsi.
- • Uni Emirat Arab, salah satu negara paling agresif dalam menggunakan lobi, membayar US$193 juta selama tujuh tahun untuk mempertahankan citranya di Washington meski dituding mencuci uang dan mendanai konflik Sudan.
- • Kebijakan sanksi AS, yang seharusnya menjadi alat penekan rezim otoriter, justru memunculkan industri baru di mana keputusan bisa “dinegosiasikan” lewat koneksi dan uang.
Yang Harus Diwaspadai
- • Negara tidak lagi dinilai berdasarkan rekam jejak atau prinsip, tapi seberapa besar mereka membayar.
- • Banyak lobi dilakukan lewat kontrak konsultasi atau hukum, sehingga tidak wajib dilaporkan secara publik.
- • Sekutu dan negara berkembang kini memandang kebijakan Washington sebagai sesuatu yang bisa dibeli, bukan disepakati.
Zoom Out
- • Laporan terbaru dari Global Witness memperkuat gambaran kelam tentang wajah baru diplomasi Amerika, yakni hubungan luar negeri yang didorong bukan oleh nilai, tetapi oleh uang.
- • Negara-negara termiskin di dunia kini harus menjual sumber daya mereka demi kesempatan untuk didengar, bukan oleh lembaga multilateral atau pemimpin dunia, melainkan oleh firma lobi.
- • Washington kini bukan sekadar pusat kekuasaan global, melainkan juga pasar tempat pengaruh diperjualbelikan kepada mereka yang mampu membayar.
Temuan ini menyoroti kenyataan pahit bahwa dalam diplomasi modern, negara-negara termiskin pun dipaksa ikut bermain dalam sistem yang lebih memihak mereka yang punya akses dan uang, bukan keadilan atau kebutuhan. (The Guardian/The Washington Post)