Sekjen PBB: AI Harus Gunakan 100 persen Energi Terbarukan pada 2030

INFORMASI.COM, Jakarta - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, menyerukan agar pusat data kecerdasan buatan (AI) di seluruh dunia sepenuhnya menggunakan energi terbarukan paling lambat tahun 2030. Seruan ini disampaikan saat peluncuran laporan terbaru PBB dan International Renewable Energy Agency (IRENA) bertajuk "Seizing the Moment of Opportunity" di New York, Selasa (23/7/2025).
“ AI bisa meningkatkan efisiensi dan inovasi dalam sistem energi, tapi juga sangat rakus energi. Ini tidak berkelanjutan, kecuali kita ubah. ”
— Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres
Data Center AI Bisa Saingi Konsumsi Listrik Sebuah Negara
- • Sebuah pusat data AI dapat mengonsumsi listrik setara dengan 100.000 rumah.
- • Pusat data terbesar yang sedang dibangun diperkirakan akan menggunakan energi hingga 20 kali lebih besar dari pusat data saat ini.
- • Jika tren ini terus berlanjut, pada tahun 2030 konsumsi listrik global dari pusat data bisa menyamai konsumsi seluruh Jepang saat ini.
- • Guterres menyoroti bahwa penggunaan air untuk pendinginan pusat data juga harus dilakukan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Ketimpangan Energi Bersih Masih Lebar
- • Transisi energi bersih berkembang pesat di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China.
- • Sebaliknya, negara berkembang tertinggal, baik dalam investasi maupun infrastruktur energi terbarukan.
- • Afrika hanya menerima 1,5 persen dari total investasi energi terbarukan global pada 2024, padahal dihuni 85 persen populasi dunia yang belum memiliki akses listrik.
- • Guterres menekankan bahwa masa depan energi bersih adalah kenyataan, dan tidak ada pihak yang bisa menghentikannya.
Biaya Terus Turun, Tapi Risiko Geopolitik Meningkat
- • Lebih dari 90 persen proyek energi terbarukan baru kini menghasilkan listrik yang lebih murah daripada sumber energi fosil termurah.
- • Investasi global dalam energi bersih mencapai US$2 triliun pada 2024, atau US$800 miliar lebih besar dibandingkan investasi di bahan bakar fosil.
- • Risiko geopolitik, seperti pengenaan tarif perdagangan, berpotensi menaikkan biaya energi bersih dalam jangka pendek.
- • Penambahan kapasitas besar energi terbarukan dapat membuat jaringan listrik menjadi lebih tidak stabil (volatile).
- • Namun dalam jangka panjang, biaya energi bersih diprediksi akan terus menurun seiring dengan kemajuan teknologi dan pemantapan rantai pasok.
Menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP30 di Brasil pada November 2025, Guterres menyerukan agar negara-negara G20 memimpin upaya pengurangan emisi secara ambisius. Ia menegaskan bahwa transisi menuju masa depan energi bersih tidak boleh menjadi perlombaan eksklusif, melainkan estafet bersama yang inklusif dan berdaya tahan bagi seluruh umat manusia. (UN Climate Report 2025/IRENA/The Economic Times)