Kisah STOVIA, Sekolah Dokter Pertama di Indonesia

INFORMASI.COM, Jakarta - Saat masa penjajahan, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan sebuah sekolah yang awalnya ditujukan untuk mendidik bumiputera menjadi tenaga kesehatan, lho. Sekolah itu bernama Sekolah Dokter Djawa.
Pendirian sekolah itu berawal dari upaya untuk mengatasi epidemi yang terjadi di Jawa Tengah. Seorang pejabat kolonial Hindia Belanda di bidang kesehatan, Willem Bosch, memberikan usulan kepada pemerintah untuk melatih bumiputera menjadi tenaga kesehatan.
Sebelumnya, untuk merespon munculnya berbagai wabah penyakit di Karesidenan Banyumas, pemerintah meminta Bosch untuk menyampaikan pendapatnya.
“Pemerintah meminta Kepala Dinas Kesehatan saat itu, dr. W. Bosch, agar menyampaikan pendapat tentang penyediaan sebuah pedoman yang jelas dan singkat, disusun dalam bahasa Jawa dan Melayu kepada para kepala desa. Pedoman tersebut berisi nasihat-nasihat penting untuk kepentingan kesehatan sekaligus sebuah pedoman untuk menggunakan tanaman tradisional dan sarana pengobatan yang biayanya tidak begitu mahal,” tulis A. de Waart dalam Tujuh Puluh Lima Tahun Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-1926 yang dikutip, Selasa (10/12/2024).
Melalui usulan kepada Gubernur Jenderal J. J. Rochussen pada Oktober 1847, Bosch mengajukan untuk melatih para pemuda Jawa yang mampu membaca dan menulis huruf Jawa dan Melayu untuk menjadi dokter.
Usulan Bosch bukannya tanpa alasan pendukung. Dikutip dari buku Healers on the Colonial Market karya Liesbeth Hesselink, Bosch menyampaikan setidaknya dua alasan atas usulannya tersebut.
Pertama, dia menyadari pengetahuan orang Jawa terhadap ilmu medis sangat terbatas dan hanya beberapa bumiputera saja yang tidak percaya dengan dukun. Mereka yang tidak percaya dengan dukun lebih memilih berkonsultasi dengan ilmuwan Eropa terdekat jika ada.
Bosch juga melihat bahwa dalam epidemi yang terjadi di Jawa Tengah saat itu, para dukun tidak dapat berbuat banyak. Bahkan, bumiputera sangat terbantu dengan pengobatan dari Eropa.
Selain itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda juga membutuhkan tenaga murah untuk merawat para pekerja agar tetap sehat dan bisa bekerja secara produktif. Hal ini dilakukan agar keuangan Kerajaan Belanda tidak mengalami kerugian.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, usulan tersebut berbuah manis. Pada 1 Januari 1851, didirikan School ter Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen. Sebagaimana ditulis oleh Hans Pols dalam bukunya Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia.
“Sekolah dokter pertama di Hindia Belanda adalah Sekolah Dokter Djawa, yang didirikan pada tahun 1851,” tulis Pols.
Lama pendidikannya adalah dua tahun. Adapun bangunan yang digunakan adalah milik rumah sakit militer di Batavia. Selama periode 1851-1863, ada 122 murid yang mengikuti program sekolah ini.
Dari angka tersebut, 76 di antaranya lulus, sementara 46 lainnya tidak lulus dan keluar karena berbagai alasan. Kemudian dari 76 yang lulus tersebut, 30 di antaranya bekerja sebagai seorang juru vaksin, dan 11 bekerja di klinik lokal.
Pengajarnya didatangkan langsung dari Belanda. Direktur pertama dari sekolah ini ialah P. Bleeker, seorang petugas kesehatan yang kritis terhadap pemerintah kolonial. Lalu dilanjutkan oleh dr. C. Eijkman, dr. H. F. Roll, dan terakhir dr. J. Noordhoek Hegt.
Sebagai informasi, hal-hal yang dipelajari para murid adalah fisika, kimia, geologi, botani dan zoologi, anatomi manusia dan fisiologi, serta ilmu autopsi. Kemudian pada tahun kedua, mereka mempelajari operasi dan bedah mayat, patologi, patologi anatomi dan terapi, teori vaksin dan penyakit kulit, materia medica, dan praktik di klinik.
Dikutip dari Universitas Airlangga, Sekolah Dokter Djawa kemudian mengalami reorganisasi karena kebutuhan pemerintah akan tenaga dokter bumiputera yang besar untuk ditempatkan di berbagai daerah.
Pada 1902, sekolah tersebut berganti nama menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Lulusannya diberi gelar Inlandsche Arts. Sebelas tahun kemudian, kata Inlandsche diubah menjadi Indische.
Lama pendidikannya berubah menjadi tujuh tahun. Rinciannya, dua tahun masa persiapan dan lima tahun masa pendidikan kedokteran.
Agar para murid terlatih, pada 1890 dibuka klinik rawat jalan. 95 murid fase kedokteran pada 1910-an harus dapat menangani total 7000 pasien.
Melahirkan Tokoh-Tokoh Bangsa
Meski banyak dihuni oleh kalangan bawah, sekolah kedokteran ini tak banyak disadari menjadi salah satu pelopor kebangkitan pergerakan nasional. Lulusannya banyak yang menjadi tokoh ternama yang berkecimpung dalam arena politik Indonesia di masa prakemerdekaan.

Pada 20 Mei 1908, Boedi Oetomo didirikan oleh anak-anak STOVIA. Organisasi tersebut lahir dari inisiasi seorang dokter djawa yang telah pensiun, Mas Wahidin Soedirohoesodo. Ketuanya ialah Soetomo, salah satu tokoh penting dalam pergerakan bangsa.
Lalu ada Johannes Leimena yang juga salah satu tokoh penting dalam pemerintahan Presiden Soekarno.
Selain Leimena, masyarakat tentu mengenal Radjiman Wedyodiningrat yang dipercaya menjadi ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kemudian Tjipto Mangoenkoesoemo dan Marie Thomas, dokter perempuan pertama di Hindia Belanda.
(Penulis: Daffa Prasetia)
Komentar (0)
Login to comment on this news