Tarif 25 Persen Belum Cukup, Trump Ancam Tambah Beban untuk India

Presiden AS Donald Trump. (Foto: The White House)
INFORMASI.COM, Jakarta - Presiden AS Donald Trump kembali mengancam akan menaikkan tarif atas barang dari India karena negara itu tetap membeli minyak Rusia, bahkan menjual sebagian di pasar terbuka untuk meraup keuntungan.
Tarif Saat Ini
- •Mulai 1 Agustus 2025 AS telah memberlakukan tarif 25 persen atas seluruh barang impor dari India.
- •Menurut Fitch Ratings, langkah ini membuat tarif efektif rata-rata produk India di AS melonjak ke 20,7 persen dari hanya 2,4 persen pada 2024.
- •Trump menyatakan tarif ini bisa dinaikkan lagi jika India tidak menghentikan impor minyak dari Rusia.
Mengapa Ini Penting?
- •Ancaman Trump berpotensi memperlebar jurang antara Washington dan New Delhi, yang sebelumnya telah sulit mencapai kesepakatan dagang.
- •Kenaikan tarif akan memukul sektor ekspor utama India, termasuk tekstil, otomotif, dan perhiasan.
- •India adalah pembeli terbesar minyak Rusia, dengan rata-rata 1,75 juta barel per hari pada Januari–Juni 2025.
- •Jika tarif bertambah, India bisa membalas dengan kebijakan proteksionis yang memperburuk hubungan dagang bilateral.
Latar Belakang
- •India mulai mengimpor minyak Rusia sejak pasokan tradisionalnya dialihkan ke Eropa usai invasi Ukraina 2022.
- •Pemerintah India menegaskan pembelian tersebut adalah kebutuhan yang dipaksa oleh situasi pasar global.
- •New Delhi juga menyoroti hipokrisi Barat, khususnya Uni Eropa, yang masih berdagang dengan Rusia meski mengkritik India.
- •Meski bersikap tegas, beberapa kilang India sempat menghentikan pembelian minyak Rusia pekan lalu karena ancaman tarif AS.
- •Sebagai alternatif, Indian Oil Corp telah membeli 7 juta barel minyak dari AS, Kanada, dan Timur Tengah.
Ancaman tarif tambahan dari Trump atas India menambah panasnya tensi dagang kedua negara, dengan isu minyak Rusia menjadi titik picu utama. Dengan tarif 25 persen sudah berlaku, langkah kenaikan berikutnya bisa berdampak besar pada hubungan dagang dan geopolitik energi Asia. (The Guardian/The Business Standard)