Lima Tahun Abraham Accords: Normalisasi atau Ilusi Perdamaian?

INFORMASI.COM, Jakarta - Lima tahun setelah penandatanganan Abraham Accords di Gedung Putih, perjanjian yang pernah dipuji sebagai terobosan bersejarah dalam hubungan Arab–Israel kini menghadapi ujian terberat.
Mengutip The New Arab, Selasa (16/9/2025), serangan Israel ke Gaza, eskalasi konflik lintas kawasan, hingga pemboman Doha menimbulkan pertanyaan besar, yakni "apakah kesepakatan ini masih punya masa depan?"
Mengesampingkan Palestina
- •Normalisasi tanpa Palestina: Saat Uni Emirat Arab dan Bahrain membuka hubungan diplomatik dengan Israel pada 2020, kemudian disusul Maroko dan Sudan, hal itu memutus konsensus lama dunia Arab, yakni tak ada pengakuan Israel tanpa solusi adil bagi Palestina.
- •Respon keras Palestina: Presiden Mahmoud Abbas menyebut langkah itu sebagai “pengkhianatan”, sementara Hamas menilainya sebagai “tikaman dari belakang”.
- •Akar instabilitas: Menurut laporan Carnegie, Abraham Accords sejak awal dirancang untuk "membypass konflik Israel–Palestina," sehingga secara efektif menormalkan pendudukan dan menutup peluang kedaulatan Palestina.
Peristiwa 7 October 2023 sebagai Konsekuensi
- •Dampak langsung: Serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan perang Gaza berikutnya dipandang sebagai reaksi tak terhindarkan dari proses normalisasi yang mengabaikan Palestina.
- •Ketegangan publik vs pemerintah: Meski Abu Dhabi, Manama, dan Rabat tetap mempertahankan duta besar di Tel Aviv, kemarahan publik Arab melonjak.
- •Israel makin keras: Koalisi sayap kanan di Israel kian menolak solusi dua negara, membuat pemerintah Arab sulit membela normalisasi di mata rakyatnya.
Serangan Doha dan Kemarahan Arab
- •Langkah belum pernah terjadi: Pada 9 September 2025, Israel melancarkan serangan udara ke Doha yang menewaskan lima pejabat Hamas dan seorang perwira keamanan Qatar. Ini adalah serangan pertama Israel ke ibu kota Teluk.
- •Respon kolektif: Serangan itu memicu KTT darurat Arab-Islam di Doha, dihadiri negara-negara Teluk dan Muslim untuk menunjukkan solidaritas.
- •Tekanan pada AS: Negara-negara Teluk mendesak Washington mengekang Israel, menuduh serangan-serangan Tel Aviv melemahkan upaya gencatan senjata.
Negara Penandatangan di Bawah Tekanan
- •Langkah Uni Emirat Arab: Melarang perusahaan pertahanan Israel tampil di Dubai Airshow serta memberi peringatan bahwa rencana aneksasi Tepi Barat bisa merusak hubungan bilateral.
- •Dilema Bahrain dan Maroko: Menurut Burcu Ozgülük, Abu Dhabi dan Manama kini berada di posisi sulit: dipaksa mempertahankan status sebagai penandatangan, namun semakin menyesal dan frustrasi.
- •Manfaat ekonomi masih ada: Israel menyoroti kerja sama dagang dan teknologi. Perdagangan dengan Bahrain naik 843 persen pada 2024, sementara peningkatan juga terjadi dengan Uni Emirat Arab, Maroko, Mesir, dan Yordania.
Masa Depan yang Rapuh
- •Keterbatasan capaian: Sejak 2020, tidak ada negara Arab baru yang bergabung dengan Abraham Accords. Rencana normalisasi dengan Arab Saudi yang sempat digadang sebagai “mahkota permata” semakin jauh dari kenyataan.
- •Biaya politik meningkat: Ozgülük menekankan bahwa tidak terbayangkan bagi negara Arab bergabung di tengah militerisasi Israel dan matinya solusi dua negara.
- •Pertanyaan besar: Meski secara formal tetap bertahan, Abraham Accords kini tampak sebagai perjanjian di atas kertas yang semakin terputus dari realitas politik lapangan.
Lima tahun setelah ditandatangani, Abraham Accords belum runtuh, namun juga belum membawa transformasi kawasan seperti yang dijanjikan. Agresi Israel yang meluas, penolakan solusi dua negara, serta tekanan publik Arab telah menggerogoti legitimasi perjanjian ini. Masa depan Abraham Accords kini lebih rapuh dari sebelumnya, yakni antara bertahan sebagai dokumen simbolis atau perlahan-lahan kehilangan makna. (The New Arab)