Kisah Soetomo Perjuangkan Nasib Para Kuli di Deli, Sumatra

INFORMASI.COM, Jakarta – Publik Indonesia tentu tidak asing dengan nama Soetomo. Dia sering disebut sebagai perintis kemerdekaan Indonesia dalam perannya mendirikan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 bersama dengan Dr. Wahidin Sudiro Husodo, dan Gunawan Mangunkusumo.
Tanggal pendirian itu dirayakan setiap tahun oleh bangsa Indonesia sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Peran Soetomo dalam perjuangan kemerdekaan di Jawa jelas terdokumentasi secara baik, namun jasanya di Sumatra juga tidak kalah menarik.
Soetomo masuk ke sekolah dokter STOVIA di Batavia pada 1903. Kelulusannya sebagai dokter pribumi diberitakan oleh Bataviaasch Nieuwsblad pada 15 April 1911.
Sebagai dokter ikatan dinas pemerintah kolonial, tugas pertamanya ada di Semarang namun pada akhir 1912, Soetomo tercatat sudah tiba di Sumatra, tepatnya di Lubuk Pakam, kota kecil dekat Medan. Di sana dokter Jawa asal Nganjuk ini tidak hanya melawan penyakit.
Pada bulan Desember 1912, menurut Mohammad Said dalam Suatu Zaman Gelap di Deli: Koeli Kontrak Tempo Doeloe (1990), mencatat bahwa Soetomo juga melawan penjajahan dengan mendirikan Boedi Oetomo cabang Lubuk Pakam pada 1912. Beberapa bulan kemudian pada Mei 1913, Soetomo membentuk Boedi Oetomo cabang Deli di Medan dan menjadi ketuanya sendiri.
Sejarah Hari Ini: Belanda Mengakui Kedaulatan IndonesiaOrganisasi baru bentukan Soetomo ini, tulis Mohammad Said, memiliki berbagai macam anggota seperti pegawai pemerintah, pegawai percanduan, penggaraman, jurubahasa inspeksi perburuhan, perpajakan negeri, mantri ukur dan sebagainya.
Deli dan sekitarnya pada dekade 1910-an telah berkembang pesat sebagai kawasan perkebunan tembakau dan karet yang sangat menguntungkan para pemodal Eropa. Menurut Mohammad Said, pada sisi lain, tenaga ratusan ribu kelas pekerja di Deli diperas habis-habisan.
Eksistensi pasal poenale sanctie dalam Koeliordonanntie atau Undang-Undang Koeli memberikan insentif bagi para majikan kebun untuk memaksa kulinya bekerja secara sangat keras. Pengusaha dapat memenjarakan si kuli apabila dinilai tidak tangkas dan disiplin dalam bekerja.
Namun, tulis Mohammad Said, karena menjerat kuli dengan pasal pidana itu dinilai membuang tenaga produktif dan menghabiskan biaya, para pemodal Eropa ini lebih suka menghukum kuli-kulinya secara langsung layaknya di zaman perbudakan.
Sementara itu, menurut Jan Breman dalam Taming the Coolie Beast: Plantation Society and Colonial Order (1989) otoritas kolonial membiarkan kesewenang-wenangan ini merajalela karena kekuasaan mereka bergantung pada kaum modal. Di negeri Belanda, kaum modal disokong kuat oleh berbagai politisi dan pejabat pemerintah yang membelanya lewat lobi-lobi di parlemen. Kelompok ini disebut sebagai planters lobby.
Kritik Keras Soetomo terhadap Pasal Karet
Selama Soetomo berada di Deli memang perjuangannya tidak terdengar keras. Namun ketika kembali tiba di Pulau Jawa, pada bulan Juli 1914, Soetomo melancarkan kritik yang keras.
Dalam artikel berjudul Koelie Leed, sebagaimana disitis oleh Mohammad Said, kritik Soetomo mengenai keadaan kuli kontrak dimuat oleh Java Bode pada 28 Juli 1914. Soetomo, seorang dokter Djawa, demikian laporan surat kabar Belanda itu, menyampaikan kesan-kesannya mengenai nasib kuli kontrak di Deli dalam pertemuan antara anggota Boedi Oetomo dalam bahasa Melayu yang fasih.
Sejarah Monumen Nasional, Bangunan Ikonik Simbol Perjuangan Bangsa IndonesiaDengan kata-kata pedas ia mencerca bagaimana pekerja di Deli telah diperlakukan sebagai manusia. Praktik pihak berkuasa di Deli yang cukup kejam, menurutnya, sebagai akibat dari perjanjian (kontrak) yang telah mengikat diri mereka, yang disodorkan oleh tukang-tukang dera.
Dalam pertemuan itu, Soetomo membeberkan berbagai kenyataan pahit yang diterima oleh para pekerja Jawa. Mereka harus mencangkul tanah dalam-dalam, dan untuk pekerjaan itu mereka harus pergi ke hutan. Para kuli juga harus menggali parit-parit yang bau dan bekerja selama 10 jam tanpa beristirahat. Bahkan, kaum wanita juga harus bekerja keras di lapangan untuk membersihkan hutan-hutan.
Sementara itu menurut Soetomo hal-hal buruk seperti perjudian dan pelacuran dianjurkan dan merajalela. Hal ini dilakukan supaya upah yang diterima kuli dapat segera dihabiskan supaya mereka kembali menandatangani kontrak baru untuk mendapatkan uang.
“Kuli-kuli itu dari segala jurusan mengalami jepitan,” kata Soetomo.
Meskipun telah meninggalkan tanah Deli, perjuangan Soetomo bagi para kuli kontrak tidak berakhir. Di Jawa, dia mengabarkan berita pedih yang dialami para kuli kontrak.
Kritik Soetomo atas poenale sanctie di Deli menginspirasi tokoh pergerakan rakyat Deli lainnya yang bernama Mohamad Samin, ketua Sarikat Islam Sumatra Timur. Pasal karet tempo dulu ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1930, tulis Mohammad Said, setelah berbagai perdebatan yang menyertainya.
(Penulis: Dhia Oktoriza Sativa)
Komentar (0)
Login to comment on this news