Sejarah Hari Ini: 7 Januari 1965, Indonesia Keluar dari PBB

INFORMASI.COM, Jakarta – Presiden Sukarno menyatakan Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 7 Januari 1965. Keputusan itu merupakan buntut dari bentuk protes karena PBB memasukkan Malaysia sebagai negara anggota.
“Sekarang karena tenyata bahwa Malaysia diterima menjadi anggota Dewan Keamanan, saya menyatakan, Indonesia keluar dari PBB,” kata Sukarno dikutip oleh oleh M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia VI, (1984).
Keputusan luar biasa dari Sukarno ini tidak datang tiba-tiba. Satu minggu sebelumnya, pada 31 Desember 1964, Sukarno mengancam untuk keluar dari PBB sebagai bentuk protes terhadap usaha PBB dalam memasukkan Malaysia sebagai anggota PBB.
Pada akhir tahun 1964 itu, tulis Poesponegoro dan Notosusanto, Sukarno mengulangi apa yang pernah ditegaskannya pada tahun 1960. Menurut tokoh proklamator ini, PBB sekarang tak ubahnya PBB pada tahun 1945. PBB masih hidup di masa lalu ketika belum banyak apa yang disebutnya new emerging forces atau negara-negara bangsa yang baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Sejarah Hari Ini: Lahirnya Persatuan Perjuangan, Oposisi Pertama dalam Sejarah Republik“Oleh karenanya, jikalau PBB sekarang, PBB yang belum dirubah, yang tidak lagi mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, kita, Indonesia, akan ke luar, kita akan meninggalkan PBB sekarang.”
Dari isi pidato itu, tulis Poesponegoro dan Notosusanto, bergabungnya Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan ialah yang sebenarnya menjadi sebab keluarnya Indonesia dari PBB.
Indonesia di bawah Sukarno yang mengusung slogan anti-imperialisme selalu curiga kepada Malaysia, dulunya Malaya, sejak kemerdekaannya pada 1957. Banyak pemimpin Indonesia, tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (2007) menilai Malaya tak benar-benar merdeka karena tidak terjadi suatu revolusi di sana serta merasa iri terhadap keberhasilan Malaya di bidang ekonomi. Para pemimpin Indonesia pun dinilai sangat tersinggung karena Malaya dan Singapura membantu Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Kecurigaan Indonesia segera menjadi ketidaksukaan ketika Inggris berencana menyatukan Malaya, Singapura, dan beberapa koloni Inggris di Kalimantan Utara yang meliputi Sabah, Brunai, dan Sarawak pada awal 1961.
Visi Inggris di Asia Tenggara itu paling ditentang di Kalimantan Utara. Ketika terjadi gejolak yang berujung pemberontakan singkat pada Desember 1962 di Brunai. Pemberontakan yang singkat itu, tulis Ricklefs, dipimpin oleh Syekh A.M. Azhari, yang memiliki hubungan dengan A.H. Nasution dan terinspirasi dari revolusi di Indonesia.
Pada Januari 1963, Menteri Luar Negeri Subandrio, menyatakan menolak berdirinya Malaysia dan menegaskan sikap “konfrontasi” Indonesia. Sikap ini diamplifikasi oleh Presiden Soekarno pada 23 September 1963 yang menyatakan rencananya untuk “mengganyang Malaysia”.
Sejarah Hari Ini: Mohammad Husni Thamrin Ditahan Pemerintah KolonialDemi meningkatkan tekanan terhadap Malaysia, catat R. Cribb dan A. Kahin dalam Historical Dictionary of Indonesia, (2004), Komando Operasi Tertinggi (KOTI) Angkatan Darat direorganisasi dan serangan-serangan perbatasan dimulai ke Sarawak, di mana sebagian besar pasukan Indonesia tidak berhasil melawan tentara Persemakmuran Inggris. Pada bulan Agustus dan September 1964, pendaratan dalam skala kecil terjadi di Semenanjung Malaya.
Antusiasme terhadap konflik ini, tulis Cribb dan Kahin, segera berkurang, sebagian karena mereka tak ingin mengerahkan pasukan yang mampu jauh dari pusat-pusat kekuatan di Jawa, dan sebagian lagi karena “konfrontasi” adalah salah satu alasan bagi kelompok komunis yang mendukung “angkatan kelima” yang terdiri dari buruh-tani.
Tak lama setelah pemerintahan Sukarno digulingkan dan kekuatan politik komunis dihancurkan, “konfrontasi” akhirnya. Hubungan dengan Malaysia pun ikut dinormalisasi pada 11 Agustus 1966.
(Penulis: Dhia Oktoriza Sativa)
Komentar (0)
Login to comment on this news